Selasa, 11 Juni 2013

Sejarah Garam Gunung


A.      Sejarah Garam di Desa Long Midang

Pada Jaman dahulu cerita  dari nenek moyang ke orangtua sampai sekarang, sebenarnya secara tertulis sejarah tersebut sudah dibuatkan tetapi masih  dalam keadaan coret-menyoret tidak sempat untuk di buat  secara lebih rapi sehingga tidak sempat di bukukan dalam buku sejarah.

Sejarah di temukan air asin, pada waktu itu orang-orang dayak  yang ada disni mereka masih menganut kepercayaan  animisme dan injil masuk di krayan pada  tahun 33 baru semua percaya dengan Tuhan Yesus Kristus, jadi sebelumnya itu banyak orang yang berkata bahwa orang dayak itu adalah orang yang paling bengis karena mereka masih percaya dengan animism. Jadi ada yang namanya burung mengai  yang mereka sembah dan yang mereka yakini sebagai pelindung mereka dan pada saat itu antara kampung dengan kampung yang lain tidak ada kedamaian, dayak dengan dayak yang lain sering terjadi bentrok karena  untuk mempertahankan wilayahnya dan mencari musuh serta mencari kepala  dayak yang lain untuk di penggal sebagai tanda kehebatannya. Makanya dayak itu di katakan pemakan orang, karna jika ketemu dengan orang langsung di penggal kepalanya dan di belah dadanyanya mengambil hatinya yang menunjukan kejagoan/kehebatan karena mereka di kuasai kuasa kegelapan, saat suasana seperti itu jadi orang dayak pada waktu itu memiliki senjata yang ampuh yaitu sumpit (Senjata khas Suku dayak Lundayeh), sumpit yang mempunyai anak sumpit yang telah di olesi racun pada ujung anak sumpitnya. Racun itu di pakai untuk berperang dan memburu binatang  sebagai makanan dan melawan musuh, dan pada waktu itu di daerah tempat garam itu, adalah hutan yang sangat lebat dan di tempatnya itu banyak rawa-rawa dan  di takuti oleh suku dayak yang berada disana karena di katakan di dalam hutan itu ada hantu dan binatang buas dan di tempat itu  ada air yang berwarna kemerah-merahan dan di situ ada berbagai jenis binatang yang besar seperti payau,babi hutan, ada juga yang berkata itu seperti banteng.

 Jadi ada salah satu suku dayak yang tinggal di daerah itu  yang bernama ratu murud  yang pada waktu dia pergi berburu dan mengadu nasib hidup atau mati karena tempat yang akan dia kunjungi itu adalah hutan yang lebat berawa yang banyak di takuti oleh suku dayak setempat, karena dahulu ada juga masyarakat lain  yang  pergi ke tempat itu meninggal dunia, ada yang tidak kembali dan ada juga yang pulang dengan keadaan sakit.  Sehingga suku dayak yang tinggal disitu takut memasuki hutan itu, kemudian  dengan memberanikan diri ratu murud  masuk ke tempat itu dan sebelumnya dia tidak mengetahui kalau di tempat itu terdapat sumber air asin. dan pada saat orang tua yang bernama ratu murud itu membawa senjata sumpitnya dan masuk ketempat air asin itu ternyata binatang yang besar baru keluar dari air yang asin itu dan dia terlamabat untuk berburu, karena biasanya binatang-binatang  itu datang pada pagi hari.  

Keesokan harinya ratu murud memasukui hutan itu pada pagi hari dan pada saat itu juga dia melihat tupai dan orang tua itu mencoba menyumpit tupai itu dengan anak sumpitnya yang beracun, dan pada saat itu tupai itu jatuh di daerah tempat air yang berwarna kemerahan, lalu dia membawa tupai itu pulang karena dia berpikhir bahwa jika tidak membawa apa-apa maka akan sia-sia perjalannya, dan sesampai di rumah tupai yang basah oleh air yang berwarna kemerahan tadi  itu tidak di cuci dan langsung saja  di masak pada sebuah wayad (kuali)  yang sangat sederhana, lalu direbus dan  pada waktu direbus di pinggir wayad tersebut terdapat sejenis gelembung yang berwarna putih, jaman dahulu pada saat orang merebus tikus sawah lengkap dengan bulunya dan tidak di cabut sama seperti tupai yang di dapat tidak di buang bulunya tetapi sekalian di rebus di dalam wayad, menurut orang tua pada jaman itu mereka berfikir bahwa bulu tersebut bisa mencuci apa yang ada di dalam usus dan pada saat di itu mereka merebus tupai itu dengan cara yang sama, pada saat mereka memakan tupai  tersebut ternyata rasanya asin dan mereka tidak pernah bertemu tupai yang rasanya asin seperti itu.

Setelah habis dimakan mereka memegang dan merasa gelebung-gelembung putih yang berada di pinggir wayad itu ternyata rasanya   Fesi (Asin), dan keesokan harinya si orang tua itu meneruskan pergi ke hutan mencari binatang besar lagi, karena lambat lagi makannya binatang-binatang besar itu sudah pergi akhirnya dia melihat seekor tupai  tetapi orang tua ini tidak mau menyumpit tupai itu lagi, dan dia mencoba menyupit burung  yang ada di situ lalu di sumpitnya dan burung itu pun mati, lalu  burung itu jatuh di tempat yang sama seperti tupai itu lalu di ambil di cabut-cabut bulunya yang kasar tinggal bulu-bulu yang kecil, sesampai di rumah burung itu di mag (potong-potong) kemudian langsung direbus tanpa mencucinya terlebih dahulu. Pada saat direbus gelembung-gelembung putih yang berada di pinggiran wayad muncul lagi. Lalu karna rasa penasaran mereka beramai-ramai pergi menuju tempat dimana orang tua itu mendapatkan burung yang berasa asin,  sesampainya  mereka di tempat itu  lalu salah seorang dari mereka meminum air berwarna kemerahan langsung dari mata airnya dan ternyata airnya memang berasa asin  lalu mereka beramai-ramai ingin menggali mata air tersebut selama satu hari satu malam, setelah penggalian selesai dilakukan akirnya mereka  mulai membawa keluarganya masing-masing untuk menetap disana dan menggunakan mata air asin tersebut sebagai bumbu penyedap makanan hasil buruan mereka.

Lalu untuk mempertahankan ke utuhan galian mata air yang mereka gali, mereka menggunakan  pohon kayu yang besar, yang mana pada tengah pohon tersebut dilubangi hingga berbentuk seperti biss atau riol, sebagai penahan tanah pada dinding glian agar tidak longsor. Dan sampai saat ini pohon besar yang mereka gunakan sebagai dinding galian mata air masih dapat kita temui di lokasi galian mata air asin, walaupun sudah  busuk tetapi kita masih dapat melihatnya dengan jelas dikedalaman 5 meter dan pada tahun 80an diatasanya di ganti dengan semen untuk menjaga kelestariannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

B.       Sejarah Pengolahan Garam Gunung Dari Mata Air Asin Menjadi Garam Kemasan, Seperti Garam Yang Biasa Kita Temukan di Pasaran.

Dahulu masyarakat dayak yang tinggal disana hanya mengambil airnya saja, untuk dijadikan bumbu masak  dan kebetulan keturunan orang yang pertama kali yang menemukan mata air asin tersebut merawat dan membuat podok di tempat galian mata air asin dan menetap disana, kemudia pada waktu itu dia ingin merebus hewan hasil buruannya dengan air asin tersebut, namun pada saat air asin itu direbus orang itu tertidur karena kelelahan dan lupa dengan air yang sudah dia rebus hingga pagi. Pada saat pagi dia melihatnya ada garam di dalam kuali yang dimasaknya,dan itu terjadi karena proses penguapan air asin yang direbus hingga menjadi gumpalan-gumpalan padat. Pada jaman duhulu garam itu tidak seperti garam yang sering kita temukan sekarang orang dulu menyebutkan garam itu tusu ruuk  yang berarti garam keras, jaman  dulu  garamnya itu sangat keras sampai-sampai cara mengambilnya dengan menggunakan pahat, dahulu walaupun tidak ada lauk tetapi dengan adanya garam ruuk yang di potong-potong di belah-belah dan dijadikan sebagai lauk dan katanya jika nasi masih panas makan dengan garam ruuk itu rasanya enak sekali. Mulai dari situ orang tua jaman dahulu termasuk sampai sekarang berpikir  bagaimana cara mengelola air asin tersebut dengan benar dan pada akhirnya salah seorang dari masyarakat disana menemukan dua cara mengolah air asin tersebut dengan benar dan dengan adanya dua cara pengolahan maka garam yang diolah menjadi dua jenis yaitu jenis bubuk yang dikemas didalam plastik dan jenis batangan yang dikemas dengan daun-daunan dan bambu.  dan cara ini masih digunakan hingga sampai saat ini.

Garam ini diproses dengan sangat sederhana yaitu dengan cara memisahkan kadar air dan garamnya dengan cara air asin tersebut dimasak dalam wadah berupa kuali besar sampai airnya mengering dan hanya menyisakan bubuk putih.





Bubuk putih inilah yang disebut Garam Gunung " Tusu Nado" yang berbentuk bubuk. Garam jenis ini biasanya dikemas per 1 kg dalam wadah plastik. Sementara yang batangan diproses dengan cara air garam dimasukan kedalam potongan-potongan bambu lalu dibakar sampai airnya mengering dan menyisakan gumpalan garam yang sudah mengeras yang berbentuk batangan kemudian garam batangan ini dikeluarkan dari bambu tersebut lalu dikemas dalam bungkusan daun. Proses pengelolahan garam ini tidakm pernah berubah sejak dahulu sampai sekarang.

            Walaupun demikian citra rasa kedua jenis garam ini tetap sama.
Garam ini diyakini memiliki kandungan yodium yang cukup karena tidak ditemukan masyarakat dayak yang menghidap peyakit kekurangan zat yodium ( gondok) .