A.
Sejarah
Garam di Desa Long Midang
Pada Jaman dahulu cerita dari nenek moyang ke orangtua sampai
sekarang, sebenarnya secara tertulis sejarah tersebut sudah dibuatkan tetapi
masih dalam keadaan coret-menyoret tidak
sempat untuk di buat secara lebih rapi
sehingga tidak sempat di bukukan dalam buku sejarah.
Sejarah di temukan air asin, pada waktu itu
orang-orang dayak yang ada disni mereka
masih menganut kepercayaan animisme dan
injil masuk di krayan pada tahun 33 baru
semua percaya dengan Tuhan Yesus Kristus, jadi sebelumnya itu banyak orang yang
berkata bahwa orang dayak itu adalah orang yang paling bengis karena mereka
masih percaya dengan animism. Jadi ada yang namanya burung mengai yang mereka sembah
dan yang mereka yakini sebagai pelindung mereka dan pada saat itu antara
kampung dengan kampung yang lain tidak ada kedamaian, dayak dengan dayak yang
lain sering terjadi bentrok karena untuk
mempertahankan wilayahnya dan mencari musuh serta mencari kepala dayak yang lain untuk di penggal sebagai tanda
kehebatannya. Makanya dayak itu di katakan pemakan orang, karna jika ketemu
dengan orang langsung di penggal kepalanya dan di belah dadanyanya mengambil
hatinya yang menunjukan kejagoan/kehebatan karena mereka di kuasai kuasa
kegelapan, saat suasana seperti itu jadi orang dayak pada waktu itu memiliki
senjata yang ampuh yaitu sumpit (Senjata khas Suku dayak Lundayeh), sumpit yang
mempunyai anak sumpit yang telah di olesi racun pada ujung anak sumpitnya.
Racun itu di pakai untuk berperang dan memburu binatang sebagai makanan dan melawan musuh, dan pada
waktu itu di daerah tempat garam itu, adalah hutan yang sangat lebat dan di
tempatnya itu banyak rawa-rawa dan di
takuti oleh suku dayak yang berada disana karena di katakan di dalam hutan itu
ada hantu dan binatang buas dan di tempat itu
ada air yang berwarna kemerah-merahan dan di situ ada berbagai jenis binatang
yang besar seperti payau,babi hutan, ada juga yang berkata itu seperti banteng.
Jadi ada
salah satu suku dayak yang tinggal di daerah itu yang bernama ratu murud yang pada waktu
dia pergi berburu dan mengadu nasib hidup atau mati karena tempat yang akan dia
kunjungi itu adalah hutan yang lebat berawa yang banyak di takuti oleh suku
dayak setempat, karena dahulu ada juga masyarakat lain yang pergi ke tempat itu meninggal dunia, ada yang
tidak kembali dan ada juga yang pulang dengan keadaan sakit. Sehingga suku dayak yang tinggal disitu takut
memasuki hutan itu, kemudian dengan
memberanikan diri ratu murud masuk ke
tempat itu dan sebelumnya dia tidak mengetahui kalau di tempat itu terdapat
sumber air asin. dan pada saat orang tua yang bernama ratu murud itu membawa
senjata sumpitnya dan masuk ketempat air asin itu ternyata binatang yang besar
baru keluar dari air yang asin itu dan dia terlamabat untuk berburu, karena
biasanya binatang-binatang itu datang
pada pagi hari.
Keesokan harinya ratu murud memasukui hutan itu pada
pagi hari dan pada saat itu juga dia melihat tupai dan orang tua itu mencoba
menyumpit tupai itu dengan anak sumpitnya yang beracun, dan pada saat itu tupai
itu jatuh di daerah tempat air yang berwarna kemerahan, lalu dia membawa tupai
itu pulang karena dia berpikhir bahwa jika tidak membawa apa-apa maka akan
sia-sia perjalannya, dan sesampai di rumah tupai yang basah oleh air yang
berwarna kemerahan tadi itu tidak di
cuci dan langsung saja di masak pada
sebuah wayad (kuali) yang sangat
sederhana, lalu direbus dan pada waktu
direbus di pinggir wayad tersebut terdapat sejenis gelembung yang berwarna
putih, jaman dahulu pada saat orang merebus tikus sawah lengkap dengan bulunya
dan tidak di cabut sama seperti tupai yang di dapat tidak di buang bulunya
tetapi sekalian di rebus di dalam wayad, menurut orang tua pada jaman itu
mereka berfikir bahwa bulu tersebut bisa mencuci apa yang ada di dalam usus dan
pada saat di itu mereka merebus tupai itu dengan cara yang sama, pada saat
mereka memakan tupai tersebut ternyata
rasanya asin dan mereka tidak pernah bertemu tupai yang rasanya asin seperti
itu.
Setelah habis dimakan mereka memegang dan merasa
gelebung-gelembung putih yang berada di pinggir wayad itu ternyata rasanya Fesi (Asin), dan keesokan harinya si orang
tua itu meneruskan pergi ke hutan mencari binatang besar lagi, karena lambat
lagi makannya binatang-binatang besar itu sudah pergi akhirnya dia melihat seekor
tupai tetapi orang tua ini tidak mau
menyumpit tupai itu lagi, dan dia mencoba menyupit burung yang ada di situ lalu di sumpitnya dan burung
itu pun mati, lalu burung itu jatuh di
tempat yang sama seperti tupai itu lalu di ambil di cabut-cabut bulunya yang
kasar tinggal bulu-bulu yang kecil, sesampai di rumah burung itu di mag (potong-potong) kemudian langsung
direbus tanpa mencucinya terlebih dahulu. Pada saat direbus gelembung-gelembung
putih yang berada di pinggiran wayad muncul lagi. Lalu karna rasa penasaran
mereka beramai-ramai pergi menuju tempat dimana orang tua itu mendapatkan
burung yang berasa asin, sesampainya mereka di tempat itu lalu salah seorang dari mereka meminum air
berwarna kemerahan langsung dari mata airnya dan ternyata airnya memang berasa
asin lalu mereka beramai-ramai ingin
menggali mata air tersebut selama satu hari satu malam, setelah penggalian
selesai dilakukan akirnya mereka mulai
membawa keluarganya masing-masing untuk menetap disana dan menggunakan mata air
asin tersebut sebagai bumbu penyedap makanan hasil buruan mereka.
Lalu untuk mempertahankan ke utuhan galian mata air
yang mereka gali, mereka menggunakan pohon kayu yang besar, yang mana pada tengah
pohon tersebut dilubangi hingga berbentuk seperti biss atau riol, sebagai
penahan tanah pada dinding glian agar tidak longsor. Dan sampai saat ini pohon
besar yang mereka gunakan sebagai dinding galian mata air masih dapat kita temui
di lokasi galian mata air asin, walaupun sudah
busuk tetapi kita masih dapat melihatnya dengan jelas dikedalaman 5
meter dan pada tahun 80an diatasanya di ganti dengan semen untuk menjaga
kelestariannya.
B. Sejarah Pengolahan Garam Gunung Dari
Mata Air Asin Menjadi Garam Kemasan, Seperti Garam Yang Biasa Kita Temukan di Pasaran.
Dahulu masyarakat dayak yang tinggal disana hanya
mengambil airnya saja, untuk dijadikan bumbu masak dan kebetulan keturunan orang yang pertama
kali yang menemukan mata air asin tersebut merawat dan membuat podok di tempat
galian mata air asin dan menetap disana, kemudia pada waktu itu dia ingin merebus
hewan hasil buruannya dengan air asin tersebut, namun pada saat air asin itu
direbus orang itu tertidur karena kelelahan dan lupa dengan air yang sudah dia
rebus hingga pagi. Pada saat pagi dia melihatnya ada garam di dalam kuali yang
dimasaknya,dan itu terjadi karena proses penguapan air asin yang direbus hingga
menjadi gumpalan-gumpalan padat. Pada jaman duhulu garam itu tidak seperti
garam yang sering kita temukan sekarang orang dulu menyebutkan garam itu tusu ruuk yang berarti garam keras, jaman dulu
garamnya itu sangat keras sampai-sampai cara mengambilnya dengan
menggunakan pahat, dahulu walaupun tidak ada lauk tetapi dengan adanya garam
ruuk yang di potong-potong di belah-belah
dan dijadikan sebagai lauk dan katanya jika nasi masih panas makan dengan garam
ruuk itu rasanya enak sekali. Mulai dari situ orang tua jaman dahulu termasuk
sampai sekarang berpikir bagaimana cara mengelola
air asin tersebut dengan benar dan pada akhirnya salah seorang dari masyarakat
disana menemukan dua cara mengolah air asin tersebut dengan benar dan dengan
adanya dua cara pengolahan maka garam yang diolah menjadi dua jenis yaitu jenis
bubuk yang dikemas didalam plastik dan jenis batangan yang dikemas dengan
daun-daunan dan bambu. dan cara ini
masih digunakan hingga sampai saat ini.
Garam ini diproses dengan sangat
sederhana yaitu dengan cara memisahkan kadar air dan garamnya dengan cara air
asin tersebut dimasak dalam wadah berupa kuali besar sampai airnya mengering
dan hanya menyisakan bubuk putih.
Bubuk
putih inilah yang disebut Garam Gunung " Tusu Nado" yang berbentuk
bubuk. Garam jenis ini biasanya dikemas per 1 kg dalam wadah plastik. Sementara
yang batangan diproses dengan cara air garam dimasukan kedalam
potongan-potongan bambu lalu dibakar sampai airnya mengering dan menyisakan
gumpalan garam yang sudah mengeras yang berbentuk batangan kemudian garam
batangan ini dikeluarkan dari bambu tersebut lalu dikemas dalam bungkusan daun.
Proses pengelolahan garam ini tidakm pernah berubah sejak dahulu sampai
sekarang.
Walaupun
demikian citra rasa kedua jenis garam ini tetap sama.
Garam ini diyakini memiliki kandungan yodium yang cukup karena tidak ditemukan
masyarakat dayak yang menghidap peyakit kekurangan zat yodium ( gondok) .